Kelebihan dan Kekurangan Program Fortifikasi Makanan di Indonesia
Kelebihan dan Kekurangan Program Fortifikasi Makanan di Indonesia
Program fortifikasi makanan telah menjadi salah satu strategi utama pemerintah Indonesia dalam menanggulangi masalah kekurangan gizi mikro yang masih melanda berbagai lapisan masyarakat.
Fortifikasi didefinisikan sebagai penambahan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral ke dalam makanan dengan tujuan memperbaiki kondisi defisiensi pada populasi.
Di Indonesia, program ini telah diimplementasikan secara bertahap sejak awal tahun 2000-an, dengan fokus pada beberapa komoditas pokok seperti tepung terigu, minyak goreng, dan garam.
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), fortifikasi merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang cost-effective dan berkelanjutan. Namun, seperti kebijakan publik lainnya, program ini tidak luput dari pro dan kontra yang memerlukan analisis mendalam.
Artikel ini akan mengupas secara komprehensif berbagai aspek program fortifikasi makanan di Indonesia, menyajikan argumentasi dari kedua belah pihak, serta mengevaluasi efektivitasnya berdasarkan data dan penelitian terkini.
Apa Itu Fortifikasi Makanan Dan Bagaimana Pelaksanaannya Di Indonesia?
Fortifikasi makanan merupakan proses penambahan vitamin, mineral, atau zat gizi esensial lainnya ke dalam produk pangan untuk mencegah dan mengurangi defisiensi gizi mikro dalam populasi.
World Health Organization (WHO) mendefinisikan fortifikasi sebagai praktik yang disengaja untuk meningkatkan kandungan zat gizi mikro dari makanan untuk meningkatkan kualitas gizi dan memberikan manfaat kesehatan bagi masyarakat.
Di Indonesia, program fortifikasi diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 33 Tahun 2012 tentang Fortifikasi Pangan. Beberapa produk yang saat ini difortifikasi antara lain tepung terigu dengan zat besi, seng, vitamin B1, B2, dan asam folat; garam dengan yodium; minyak goreng dengan vitamin A; serta beras dengan berbagai vitamin dan mineral yang masih dalam tahap pengembangan. Implementasi program ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk Kementerian Kesehatan, BPOM, industri pangan, serta organisasi masyarakat. Menurut data Kementerian Kesehatan RI, cakupan garam beriodium telah mencapai 87,5% dari rumah tangga di Indonesia, sementara fortifikasi tepung terigu telah menjangkau lebih dari 90% produk yang beredar di pasaran.
Dukungan terhadap program fortifikasi makanan didasarkan pada beberapa pertimbangan penting. Efektivitas dalam mengurangi defisiensi gizi mikro menjadi alasan utama, dimana data dari Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 48,9%, sementara pada remaja putri sebesar 32%. Fortifikasi zat besi pada tepung terigu telah terbukti mengurangi angka anemia secara signifikan. Studi yang dilakukan oleh SEAMEO TROPMED UI menemukan bahwa konsumsi produk terigu fortifikasi berkontribusi pada peningkatan kadar hemoglobin pada wanita usia subur.
Dari segi biaya, fortifikasi merupakan strategi yang relatif murah dibandingkan intervensi gizi lainnya. World Bank memperkirakan bahwa biaya fortifikasi per orang per tahun hanya sekitar Rp 5.000-10.000, jauh lebih murah daripada suplementasi langsung. Selain itu, karena produk yang difortifikasi umumnya dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat, jangkaunya sangat luas tanpa memerlukan perubahan perilaku konsumen yang signifikan.
Dukungan regulasi yang kuat juga menjadi faktor pendukung penting. Indonesia memiliki kerangka regulasi yang komprehensif untuk fortifikasi makanan. BPOM sebagai regulator utama telah menetapkan standar dan melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan fortifikasi. Regulasi ini didukung dengan sistem monitoring dan evaluasi yang terus disempurnakan. Selain itu, program ini juga mendapatkan dukungan dari Organisasi Kesehatan Dunia, dimana WHO dan UNICEF secara konsisten merekomendasikan fortifikasi sebagai strategi utama untuk mengatasi masalah gizi mikro.
Argumentasi Penentang Program Fortifikasi
Meskipun memiliki banyak dukungan, program fortifikasi makanan juga menuai berbagai kritik dan kekhawatiran. Isu keamanan dan overfortification menjadi perhatian serius dari beberapa ahli gizi. Prof. Dr. Hardinsyah, MS, pakar gizi dari IPB, menyatakan bahwa meskipun jarang terjadi, konsumsi berlebihan vitamin A dan D melalui produk fortifikasi dapat menyebabkan efek toksik tertentu. Kekhawatiran ini terutama terkait dengan akumulasi konsumsi dari berbagai produk fortifikasi yang mungkin dikonsumsi secara bersamaan.
Efektivitas yang terbatas pada kelompok rentan juga menjadi masalah penting. Kelompok masyarakat dengan status ekonomi rendah justru seringkali memiliki akses terbatas terhadap produk fortifikasi yang umumnya dipasarkan secara komersial. Penelitian dari Lembaga Eijkman menunjukkan bahwa dampak fortifikasi paling sedikit dirasakan oleh masyarakat pedesaan dan pedalaman yang lebih banyak mengonsumsi pangan lokal non-fortifikasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam distribusi manfaat program fortifikasi.
Isu teknologi dan kualitas fortifikasi juga menjadi tantangan tersendiri. Proses fortifikasi memerlukan teknologi dan kontrol kualitas yang ketat. LIPI dalam laporannya tahun 2019 menemukan bahwa banyak produk fortifikasi di pasaran yang tidak memenuhi standar kandungan gizi mikro yang ditetapkan, terutama yang diproduksi oleh industri kecil dan menengah. Selain itu, pengaruh terhadap cita rasa dan penerimaan konsumen juga perlu diperhatikan, dimana penambahan zat gizi mikro tertentu dapat mempengaruhi cita rasa, warna, dan aroma produk pangan.
Analisis Efektivitas Program Fortifikasi di Indonesia
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, program fortifikasi garam dengan yodium telah berhasil mengurangi prevalensi GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium) dari 30% pada tahun 1990 menjadi di bawah 5% pada tahun 2018. Namun, efektivitas fortifikasi tepung terigu masih perlu ditingkatkan mengingat angka anemia masih cukup tinggi. Studi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi menunjukkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi efektivitas fortifikasi adalah kualitas dan stabilitas zat gizi mikro yang ditambahkan, distribusi produk fortifikasi yang merata, kesadaran masyarakat tentang manfaat produk fortifikasi, serta monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan.
Tantangan geografis Indonesia sebagai negara kepulauan juga mempengaruhi efektivitas program fortifikasi. Distribusi produk fortifikasi ke daerah-daerah terpencil seringkali terkendala infrastruktur dan biaya logistik yang tinggi. Selain itu, keragaman budaya dan pola konsumsi masyarakat di berbagai daerah memerlukan pendekatan fortifikasi yang lebih spesifik dan tidak seragam.
Rekomendasi untuk Optimalisasi Program Fortifikasi
Untuk menjawab berbagai kritik dan meningkatkan efektivitas program fortifikasi, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan. Penguatan sistem monitoring dan evaluasi mutlak diperlukan, dimana BPOM perlu meningkatkan frekuensi pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi pelaku industri yang tidak memenuhi standar fortifikasi. Pendekatan berbasis bukti dan spesifik lokal juga penting, dengan menyesuaikan program fortifikasi dengan pola konsumsi dan kebutuhan gizi mikro spesifik di setiap daerah.
Edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang manfaat produk fortifikasi melalui kampanye kesehatan yang efektif. Pengembangan fortifikasi pangan lokal juga menjadi solusi penting, dengan memperluas fortifikasi tidak hanya pada produk pangan industri tetapi juga pada pangan lokal seperti beras, sagu, dan minyak kelapa. Terakhir, integrasi dengan program gizi lainnya diperlukan, dimana fortifikasi harus menjadi bagian dari paket intervensi gizi yang komprehensif, termasuk suplementasi dan diversifikasi pangan.
Kesimpulan
Program fortifikasi makanan di Indonesia memiliki dampak positif yang signifikan dalam mengurangi prevalensi defisiensi gizi mikro, khususnya anemia dan GAKY. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan teknis, regulasi, dan sosial. Untuk memaksimalkan manfaatnya, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, didukung oleh sistem monitoring yang kuat, dan diintegrasikan dengan program gizi lainnya.
Dengan penyempurnaan terus-menerus berdasarkan bukti ilmiah dan evaluasi program, fortifikasi makanan dapat tetap menjadi strategi utama dalam memperbaiki status gizi masyarakat Indonesia menuju tercapainya Sustainable Development Goals (SDGs) terutama pada tujuan kedua yaitu mengakhiri kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030. Kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil akan menentukan keberhasilan program fortifikasi dalam menjawab tantangan gizi di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak produk makanan dan minuman yang mengusung label “difortifikasi”. Susu dengan tambahan kalsium, minyak goreng berlabel “mengandung vitamin A”, tepung terigu yang diperkaya zat besi, fortifikasi pangan kini seperti menjadi standar baru dalam industri makanan. Di balik label “bergizi” itu, tersimpan sebuah ambisi besar: memperbaiki kualitas gizi masyarakat, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Tapi di tengah laju perkembangan ini, pertanyaan yang mengemuka adalah “Benarkah Kita Butuh Fortifikasi”. Untuk menjawabnya, mari kita lihat lebih dekat, dari dua sisi: manfaat dan tantangan fortifikasi dalam konteks pangan dan kesehatan masyarakat Indonesia.
Indonesia sebenarnya bukan pemain baru dalam dunia fortifikasi. Beberapa inisiatif fortifikasi sudah dimulai sejak puluhan tahun lalu. Berikut beberapa diantaranya:
● Garam Beriodium: Salah satu fortifikasi paling awal dan cukup sukses. Pemerintah mewajibkan semua garam konsumsi ditambahkan yodium. Hasilnya, prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) turun drastis.
● Tepung Terigu Difortifikasi: Terigu difortifikasi dengan zat besi, asam folat, vitamin B1 dan B2, serta zinc. Fortifikasi ini diwajibkan melalui peraturan BPOM dan berhasil menjangkau banyak konsumen karena terigu banyak digunakan dalam makanan olahan.
● Minyak Goreng Fortifikasi Vitamin A: Sebagai sumber lemak yang hampir selalu digunakan di dapur rumah tangga, minyak goreng menjadi kendaraan efektif untuk fortifikasi vitamin A. Namun, penerapannya masih belum menyeluruh.
● Fortifikasi Beras: Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia menjadi target fortifikasi dengan zat besi dan vitamin, namun hingga kini penerapannya belum merata secara nasional karena berbagai tantangan teknis dan biaya.
PRO : Alasan Mengapa Fortifikasi Diperlukan
1. Kekurangan Mikronutrien Masih Tinggi di Indonesia
Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan prevalensi stunting masih berada di angka 21,5%. Ini menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 anak indonesia mengalami stunting. Kekurangan vitamin A dan yodium juga masih terjadi di banyak daerah terpencil. Fortifikasi menjadi strategi cepat dan luas untuk meningkatkan asupan gizi masyarakat tanpa mengubah pola makan secara drastis.
2. Tidak Membutuhkan Perubahan Perilaku Besar
Tidak semua orang bisa langsung makan lebih banyak sayur, ikan, atau buah. Tapi mereka tetap makan beras, minyak, garam, tepung setiap hari. Inilah yang membuat fortifikasi “Solusi gizi yang masuk tanpa disadari”.
3. Biaya Rendah, Dampak Tinggi
Menurut WHO, fortifikasi adalah salah satu intervensi kesehatan masyarakat paling cost-effective terutama saat dilakukan di skala nasional. Anak-anak, ibu hamil, lansia, dan masyarakat ekonomi lemah diuntungkan karena mereka sering tidak mendapat cukup nutrisi dari makanan saja.
KONTRA : Alasan Mengapa Fortifikasi Perlu Dipertanyakan
1. Risiko Over-Fortifikasi dan Kelebihan Nutrien
Jika banyak produk difortifikasi dan dikonsumsi bersamaan, risiko overdosis mikronutrien bisa terjadi, terutama pada anak-anak. Terlalu banyak zat besi berpotensi terhadap gangguan pencernaan, kerusakan organ jika dikonsumsi berlebihan secara terus-menerus.
2. Pengalihan Fokus dari Pola Makan Sehat
Ada kekhawatiran bahwa masyarakat jadi terlalu bergantung pada makanan “instan bergizi” dan melupakan pentingnya diet seimbang alami dari sayuran, protein hewani, dan buah.
3. Tidak Semua Fortifikan Diserap Tubuh dengan Efisien
Bioavailabilitas nutrien berbeda-beda. Bioavailabilitas adalah seberapa banyak zat gizi yang benar-benar diserap tubuh dan digunakan secara efektif setelah dikonsumsi. Tidak semua fortifikan yang ditambahkan ke makanan bisa langsung diserap oleh tubuh.
Benarkah Kita Butuh Fortifikasi?
Jawabannya bukan "iya" atau "tidak" secara mutlak, tapi: “Fortifikasi adalah solusi pelengkap, bukan pengganti pola makan sehat”.
Dalam situasi seperti Indonesia dengan tantangan gizi kronis, akses pangan sehat yang timpang, dan keterbatasan ekonomi, fortifikasi masih sangat relevan, asalkan dilakukan dengan bijak dan transparan.
Fortifikasi bisa menjadi alat penting dalam strategi kesehatan masyarakat, tapi bukan satu-satunya alat. Ia harus berjalan berdampingan dengan edukasi gizi yang kuat, perbaikan akses pangan segar, regulasi ketat klaim nutrisi dan inovasi fortifikan yang berkelanjutan. Jika dijalankan dengan tepat, dia bisa menjadi langkah kecil dengan dampak besar, membantu anak-anak tumbuh sehat, mencegah generasi anemia, dan mewujudkan Indonesia yang lebih kuat dari sisi sumber daya manusianya.
PT Inti Surya Laboratorium
Icon Business Park, Jl. Raya Cisauk Lapan Blok O No. 5 - 6, Sampora, Kec. Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten 15345
Terbaru

Kelebihan dan Kekurangan Program Fortifikasi Makanan di Indonesia
mengupas secara komprehensif berbagai aspek program fortifikasi makanan di Indonesia, menyajikan arg...
Selengkapnya
Apa Itu Hujan Asam? Kenali Penyebab, Dampak, Dan Solusi Bagi Lingkungan Hidup
Hujan asam terjadi ketika kandungan zat kimia berbahaya di udara, seperti sulfur dioksida (SO₂) da...
Selengkapnya
8 Tanaman Hias Loveable Dengan Warna Brave Pink Green Hero, Percantik Halaman Sambil Jaga Lingkungan
Warna tanaman hias begitu beragam dan unik, mengundang rasa ingin memiliki. Dari hanya percampuran d...
Selengkapnya
Mengenal Environmental Baseline Study (EBS) Untuk Industri Ramah Lingkungan
Dengan mengintegrasikan teknologi hijau, efisiensi energi, serta pengelolaan limbah yang tepat, indu...
Selengkapnya
Apa Itu Fortifikasi Makanan? Mengenal Zat Tambahan Makanan Dan Manfaatnya Untuk Tubuh
9 Dari 10 Ahli Setuju! Fortifikasi Makanan Memberikan Manfaat Luar Biasa Bagi Tubuh- Yuk Kenali Jeni...
Selengkapnya
Rahasia Gaya Hidup Sehat dengan Secangkir Teh
Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat dan konsumsi pangan ala...
Selengkapnya
Hobi Makan Seafood? Waspadai Mikroplastik Yang Mengintai!Hobi Makan Seafood? Waspadai Mikroplastik Yang Mengintai!
Pentingnya kesadaran akan keberadaan mikroplastik dalam seafood yang dikonsumsi sehari-hari. Berikut...
Selengkapnya
Makanan Cepat Saji Cepat Basi? Ini Penyebab dan Tips Aman Mengonsumsinya
Makanan cepat saji atau fast food dikenal praktis dan mudah dinikmati, tetapi memiliki daya simpan y...
Selengkapnya
Peran Beras Fortifikasi Untuk Mencegah Stunting Di Indonesia
Kupas tuntas peran, manfaat, dan potensi beras yang diperkaya dengan vitamin dan mineral ini dalam ...
Selengkapnya
Tantangan Dan Strategi Fortifikasi Makanan di Indonesia Untuk Gizi yang Lebih Baik
Fortifikasi adalah proses menambahkan zat gizi mikro penting seperti zat besi, yodium, vitamin A, zi...
Selengkapnya
Waspada Bakteri E.Coli Dari Maraknya Kasus Keracunan Makanan
Keracunan makanan, sebuah ancaman kesehatan yang sering kali diremehkan, menjadi perhatian serius be...
Selengkapnya
Dampak Gas Air Mata, Ancaman Nyata Untuk Lingkungan
Dampak gas air mata yang selama ini dianggap hanya berpengaruh sementara pada manusia, tetapi ternya...
Selengkapnya
Dampak Polusi Udara Terhadap Kesehatan Manusia Dan Lingkungan
Indonesia menempati peringkat ke-15 dunia untuk polusi udara. Artikel ini mengupas tuntas penyebab, ...
Selengkapnya
Mengenal Lebih Dekat Bakteri Coliform , Indikator Kebersihan Air dan Makanan
Coliform adalah kelompok bakteri yang biasanya digunakan sebagai indikator apakah air atau makanan s...
Selengkapnya