Tantangan Dan Strategi Fortifikasi Makanan di Indonesia Untuk Gizi yang Lebih Baik

3 days ago By : Fanny Fadhilah Usman

Tantangan Dan Strategi Fortifikasi Makanan di Indonesia Untuk Gizi yang Lebih Baik

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, termasuk dalam sektor pangan. Namun, di balik keberlimpahan tersebut, masih banyak tantangan dalam pemenuhan gizi masyarakat.

Sejak dulu, kekurangan zat gizi seperti zat besi, yodium, vitamin A, dan zinc telah menjadi penyebab berbagai penyakit yang menurunkan kualitas hidup mulai dari anemia, stunting, gangguan perkembangan otak, hingga masalah penglihatan.

Meski tubuh hanya membutuhkan vitamin dan mineral dalam jumlah kecil, kekurangannya bisa berdampak besar dan jangka panjang, terutama pada anak-anak dan ibu hamil.

Salah satu strategi yang terbukti efektif untuk mengatasi masalah ini adalah fortifikasi makanan. Fortifikasi adalah proses menambahkan zat gizi mikro penting seperti zat besi, yodium, vitamin A, zinc, dan asam folat ke dalam bahan pangan yang sering dikonsumsi masyarakat.

Fortifikan membantu menutup celah gizi yang mungkin tidak terpenuhi hanya dari makanan alami, apalagi dalam pola makan yang serba cepat dan praktis.

Fortifikasi dilakukan tanpa mengubah rasa, warna, atau bentuk makanan secara signifikan. Jadi, kamu mungkin sudah menikmatinya tanpa sadar.

Meskipun Indonesia tidak kekurangan bahan makanan, kualitas gizi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari seringkali rendah, terutama di wilayah dengan keterbatasan akses pendidikan dan ekonomi.

Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 5 anak indonesia mengalami stunting, defisiensi vitamin A dan yodium juga masih ditemukan di berbagai daerah. Fortifikasi makanan dapat menjadi strategi jangka panjang untuk mencegah kekurangan gizi secara luas, tanpa mengubah pola makan masyarakat secara drastis.

Bahkan WHO dan UNICEF mendukung fortifikasi sebagai intervensi gizi masyarakat yang hemat biaya dan berdampak luas.

Berdasar jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, program fortifikasi makanan merupakan salah satu strategi penting yang dijalankan di berbagai negara untuk mengatasi masalah kekurangan gizi mikro.

Melalui program ini, sejumlah nutrisi penting ditambahkan ke dalam bahan makanan sehari-hari agar masyarakat mendapatkan asupan gizi yang lebih seimbang.

Beberapa contoh fortifikasi makanan yang umum dilakukan di dunia antara lain penambahan vitamin A pada minyak goreng, margarin, dan gula, vitamin D pada susu dan margarin, asam folat pada tepung, yodium pada garam, serta zat besi pada susu, tepung jagung, kacang-kacangan, millet mutiara, dan tepung terigu.

Di Indonesia sendiri, program fortifikasi yang utama adalah fortifikasi yodium pada garam dan fortifikasi zat besi pada tepung terigu.

Selain itu, fortifikasi vitamin A pada minyak goreng yang sebelumnya bersifat opsional, sejak tahun 2020 telah ditetapkan sebagai program wajib untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat.

Sejarah Fortifikasi Makanan di Indonesia

Program fortifikasi makanan di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1927. Sayangnya, sempat terhenti karena perang dan baru dijalankan kembali pada tahun 1994 melalui Peraturan Presiden.

Program fortifikasi makanan pertama kali digaungkan adalah kandungan garam beriodium yang dikenal dengan nama program iodisasi garam, yang mewajibkan semua garam di Indonesia difortifikasi dengan iodium.

Hasil pemetaan Kementerian Kesehatan bersama Bank Dunia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) masih ditemukan di banyak daerah, seperti Sumatera, Jawa, NTB, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Bahkan, di beberapa wilayah terpencil masih ada “Desa Sengi”, istilah untuk daerah dengan kasus GAKI yang tinggi.

Sejak awal 1990-an, program iodisasi garam berhasil meningkatkan konsumsi garam beriodium hingga 70% penduduk Indonesia. Namun, artinya masih ada sekitar 30% penduduk yang belum terlindungi dari GAKI. Lebih jauh lagi, sebagian masyarakat memang sudah memakai garam beriodium, tetapi kadar iodiumnya belum cukup untuk mencegah masalah serius, mulai dari stunting, kerdil, hingga cacat akibat kekurangan iodium.

Kekurangan iodium bahkan bisa berdampak sejak masa kehamilan hingga usia dua tahun anak atau dikenal sebagai 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Inilah periode emas yang menentukan kualitas tumbuh kembang anak.

Pada tahun 2012, Kementerian Perindustrian menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709 yang mengatur bahwa minyak goreng sawit (MGS) ber-SNI harus mengandung vitamin A sebanyak 45 IU per gram.

Namun saat itu aturan ini masih bersifat sukarela, sehingga belum semua produsen wajib menambahkan vitamin A pada minyak gorengnya.

Hingga tahun 2015, berdasarkan data KFI, sekitar 51% MGS sudah difortifikasi vitamin A dalam berbagai kadar, sementara 49% lainnya belum, termasuk minyak goreng curah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Padahal, kelompok ini sangat membutuhkan minyak goreng yang difortifikasi untuk mencukupi kebutuhan vitamin A sehari-hari.

Penelitian KFI di pedesaan Jawa Barat menemukan bahwa bagi keluarga miskin, minyak goreng adalah satu-satunya sumber yang dapat digunakan untuk “menitipi” atau menambahkan vitamin A.

Artinya, MGS yang difortifikasi vitamin A menjadi sumber gizi penting, terutama bagi ibu hamil, ibu menyusui, serta bayi dan balita yang mendapat asupan vitamin A dari Air Susu Ibu (ASI).

Melihat kondisi tersebut, sejak Maret 2016, pemerintah mengubah kebijakan fortifikasi MGS dari sukarela menjadi wajib.

Kini, semua minyak goreng, termasuk minyak curah, harus diperkaya vitamin A. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan seluruh masyarakat Indonesia, baik di kota maupun desa, dari Sabang sampai Merauke, bisa mendapatkan manfaat vitamin A dari minyak goreng.

Langkah ini juga menjadi upaya penting untuk memperbaiki gizi masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kualitas hidup bangsa.


Tantangan Utama Fortifikasi Makanan di Indonesia

Meskipun prinsipnya sederhana, implementasi fortifikasi makanan di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang saling berkaitan.

1. Masalah Kepatuhan dan Regulasi

Salah satu hambatan terbesar adalah masalah kepatuhan produsen terhadap regulasi fortifikasi yang telah ditetapkan pemerintah. Meskipun ada Peraturan Menteri Kesehatan yang mewajibkan fortifikasi, pengawasan di lapangan seringkali belum optimal.

Berikut adalah beberapa poin utama:

Pengawasan yang Lemah: Kurangnya sumber daya manusia dan laboratorium yang memadai untuk pengujian produk di berbagai daerah membuat pemantauan menjadi sulit.

Ini membuka celah bagi produsen yang tidak jujur untuk tidak melakukan fortifikasi, atau melakukannya dengan kadar yang tidak sesuai standar.

Sanksi yang Kurang Tegas: Sanksi yang diberikan kepada produsen yang melanggar seringkali dianggap kurang memberikan efek jera, sehingga pelanggaran terus berulang.

Regulasi yang Belum Komprehensif: Beberapa produk makanan yang berpotensi tinggi untuk fortifikasi, seperti beras dan biskuit, belum memiliki regulasi wajib fortifikasi yang kuat.

2. Tantangan Teknis dan Teknologi

Proses fortifikasi membutuhkan teknologi dan keahlian khusus. Tidak semua produsen, terutama industri kecil dan menengah (IKM), memiliki akses atau pengetahuan untuk melakukannya.

Biaya Peralatan dan Bahan Baku: Investasi awal untuk peralatan fortifikasi bisa sangat mahal. Selain itu, harga bahan baku fortifikan (premix vitamin dan mineral) juga menjadi beban tambahan bagi produsen.

Stabilitas Mikronutrien: Stabilitas zat gizi dalam makanan selama proses produksi, penyimpanan, dan distribusi adalah tantangan teknis. Panas, cahaya, dan kelembaban dapat merusak vitamin dan mineral, mengurangi efektivitas fortifikasi.

Perubahan Sifat Fisik Makanan: Penambahan zat gizi dapat mengubah warna, rasa, atau tekstur makanan. Produsen harus memastikan fortifikasi tidak menurunkan kualitas atau daya terima produk oleh konsumen.

Solusi dan Strategi Pemberian Fortifikasi Makanan

Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat.

  1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan
    Pemerintah perlu memperkuat peran sebagai regulator dan pengawas. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi:
    Peningkatan Pengawasan Lapangan: Mengalokasikan lebih banyak anggaran dan sumber daya untuk pengawasan, termasuk pelatihan petugas dan penyediaan alat pengujian yang memadai di tingkat daerah.
    Pemberlakuan Sanksi yang Lebih Tegas: Menerapkan sanksi administratif dan hukum yang lebih berat bagi produsen yang terbukti melanggar regulasi fortifikasi.
    Ekspansi Regulasi Wajib Fortifikasi: Mempertimbangkan untuk mewajibkan fortifikasi pada produk makanan lain yang memiliki potensi besar untuk menjangkau populasi luas, seperti beras yang merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
  2. Dukungan untuk Industri
    Pemerintah dan lembaga terkait harus memberikan dukungan teknis dan finansial kepada produsen, terutama IKM.
    Insentif Pajak: Memberikan insentif pajak atau subsidi bagi produsen yang berinvestasi dalam teknologi fortifikasi.
    Pusat Pelatihan dan Konsultasi: Mendirikan pusat pelatihan dan konsultasi untuk membantu produsen memahami proses fortifikasi, memilih premix yang tepat, dan mengatasi masalah teknis.
    Penyediaan Fortifikan Terjangkau: Bekerja sama dengan produsen premix untuk memastikan ketersediaan bahan fortifikan dengan harga yang terjangkau.
  3. Edukasi dan Promosi
    Kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya fortifikasi juga menjadi kunci.
    Kampanye Publik: Melakukan kampanye edukasi yang masif dan kreatif untuk menjelaskan manfaat fortifikasi makanan. . Kampanye ini dapat menggunakan berbagai media, seperti media sosial, televisi, dan radio.
    Pencantuman Informasi Jelas: Mendorong produsen untuk mencantumkan informasi fortifikasi pada label produk dengan jelas dan mudah dipahami oleh konsumen.
    Kerja Sama dengan Tokoh Masyarakat: Melibatkan tokoh masyarakat, selebriti, atau influencer untuk menyuarakan pentingnya fortifikasi.

Fortifikasi pangan bukan sekadar inovasi teknologi, tapi strategi nyata untuk menjawab tantangan kekurangan gizi di Indonesia. Makanan fortifikasi adalah jawaban modern yang bisa diandalkan: praktis, aman, dan berdampak nyata.

Dengan mengombinasikan potensi lokal seperti kelapa dan pendekatan ilmiah dalam fortifikasi, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih sehat dan berdaya saing.

Hidup sehat tak perlu rumit.Dengan memilih bahan pangan yang difortifikasi, kita sudah mengambil langkah besar dalam memenuhi kebutuhan gizi harian tanpa harus repot, tanpa harus mahal.



Referensi:


Mutiara Vidianinggar, Trias. Mahmudiono, and Dominikus Atmaka (2021). Fad Diets, Body Image, Nutritional Status, and Nutritional Adequacy of Female Models in Malang City. Journal of Nutrition and Metabolism. https://doi.org/10.1155/2021/8868450

Yayasan Kegizian Untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia. (2015). Fortifikasi Pangan Untuk Perbaikan Gizi. https://www.kfindonesia.org/fortifikasi-pangan-untuk-perbaikan-gizi/.


PT Inti Surya Laboratorium

Icon Business Park, Jl. Raya Cisauk Lapan Blok O No. 5 - 6, Sampora, Kec. Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten 15345


Terbaru

...
3 days ago

Kelebihan dan Kekurangan Program Fortifikasi Makanan di Indonesia

mengupas secara komprehensif berbagai aspek program fortifikasi makanan di Indonesia, menyajikan arg...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Apa Itu Hujan Asam? Kenali Penyebab, Dampak, Dan Solusi Bagi Lingkungan Hidup

Hujan asam terjadi ketika kandungan zat kimia berbahaya di udara, seperti sulfur dioksida (SO₂) da...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

8 Tanaman Hias Loveable Dengan Warna Brave Pink Green Hero, Percantik Halaman Sambil Jaga Lingkungan

Warna tanaman hias begitu beragam dan unik, mengundang rasa ingin memiliki. Dari hanya percampuran d...

Selengkapnya
Entertaiment
...
3 days ago

Mengenal Environmental Baseline Study (EBS) Untuk Industri Ramah Lingkungan

Dengan mengintegrasikan teknologi hijau, efisiensi energi, serta pengelolaan limbah yang tepat, indu...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Apa Itu Fortifikasi Makanan? Mengenal Zat Tambahan Makanan Dan Manfaatnya Untuk Tubuh

9 Dari 10 Ahli Setuju! Fortifikasi Makanan Memberikan Manfaat Luar Biasa Bagi Tubuh- Yuk Kenali Jeni...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Rahasia Gaya Hidup Sehat dengan Secangkir Teh

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pola hidup sehat dan konsumsi pangan ala...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Hobi Makan Seafood? Waspadai Mikroplastik Yang Mengintai!Hobi Makan Seafood? Waspadai Mikroplastik Yang Mengintai!

Pentingnya kesadaran akan keberadaan mikroplastik dalam seafood yang dikonsumsi sehari-hari. Berikut...

Selengkapnya
Information
...
3 days ago

Makanan Cepat Saji Cepat Basi? Ini Penyebab dan Tips Aman Mengonsumsinya

Makanan cepat saji atau fast food dikenal praktis dan mudah dinikmati, tetapi memiliki daya simpan y...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Peran Beras Fortifikasi Untuk Mencegah Stunting Di Indonesia

Kupas tuntas peran, manfaat, dan potensi beras yang diperkaya dengan vitamin dan mineral ini dalam ...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Tantangan Dan Strategi Fortifikasi Makanan di Indonesia Untuk Gizi yang Lebih Baik

Fortifikasi adalah proses menambahkan zat gizi mikro penting seperti zat besi, yodium, vitamin A, zi...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Waspada Bakteri E.Coli Dari Maraknya Kasus Keracunan Makanan

Keracunan makanan, sebuah ancaman kesehatan yang sering kali diremehkan, menjadi perhatian serius be...

Selengkapnya
technical
...
3 days ago

Dampak Gas Air Mata, Ancaman Nyata Untuk Lingkungan

Dampak gas air mata yang selama ini dianggap hanya berpengaruh sementara pada manusia, tetapi ternya...

Selengkapnya
Information
...
3 days ago

Dampak Polusi Udara Terhadap Kesehatan Manusia Dan Lingkungan

Indonesia menempati peringkat ke-15 dunia untuk polusi udara. Artikel ini mengupas tuntas penyebab, ...

Selengkapnya
technical
...
2 weeks ago

Mengenal Lebih Dekat Bakteri Coliform , Indikator Kebersihan Air dan Makanan

Coliform adalah kelompok bakteri yang biasanya digunakan sebagai indikator apakah air atau makanan s...

Selengkapnya
technical